Kamis, 09 Mei 2013

Air keadilan pelepas dahaga ketaqwaan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ  
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.5:8)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ

Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya. (Bukhori, Muslim)

Ta'rif adil (definisi) :
'Adil menurut bahasa, ialah :  "orang yang diterima kesaksiannya".
Mengenai istilah, para ulama mempunyai beberapa pendapat diantaranya : "orang yang adil itu, ialah : orang yang berkumpul padanya beberapa ketentuan ini".
Pertama, Islam
Kedua, Taklif (sudah mukallaf)
Ketiga, Menjaga dari sebab-sebab kefasekan dan merusak muru'ah.

Dengan kata lain, 'adil adalah suatu sifat yang tersimpan dan terhujam pada diri seseorang yang menyebakan orang yang mempunyai 'adallah itu tetap taqwa dan memelihara muru'ah yang menyebabkan timbul kepercayaan kita kepadanya dan haruslah dia menjauhkan diri dari dosa-dosa besar.

Adil merupakan air pelepas dahaga yang dirasakan oleh orang yang membutuhkannya, ia bagaikan air dingin nan segar ditengah guruh sahara, yang dibutuhkan,dirindukan, diimpikan, dielukan bagi siapapun yang merasa dirinya dahaga akan air keadilan di tengah teriknya masalah kehidupan yang dialaminya.

Namun ketika ia tidak menemukan air itu maka yang ia rasakan tidaklah sama dengan apa yang dirasakan oleh orang yang mendapatkannya. Sekujur tubuh pastilah merasakan penderitaan atasnya. Oleh karena itu Nabi saw didalam doanya bersikap keras atas prilaku yang tidak berlaku adil.

حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ

‘Aisyah r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (Hr. Muslim)
Setiap diri adalah pemimpin dan seorang pemimpin bagaikan sebuah  lokomotif kereta yang bertugas menarik gerbong-gerbong diatas rel menuju jalan yang ditujunya. Ketika lokomotif itu tidak kuat untuk memberikan tenaga untuk menarik gerbong-gerbongnya, maka yang terjadi kereta itu tidak akan berjalan dengan baik bahkan mogok, karena jumlah tenaga yang diberikan tidaklah seimbang/rata dengan jumlah gerbong-gerbongnya.
Begitulah gambaran seorang pemimpin jika ia tidak mampu berlaku adil kepada rakyatnya, jama'ahnya, pengikutnya, bahkan kepada dirinya sendiri maka yang terjadi adalah ketidak seimbangan atasnya..

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (Bukhori, Muslim)
Wallahu'alam..

 

Kamis, 02 Mei 2013

Bagaimana cara menyikapi perkara yang ghoib


Definisi beriman kepada yang ghaib;
Secara Bahasa,Kata ghaib adalah bentuk masdar dari kata ghaa-ba, yang berarti setiap yang tidak dapat dicerna oleh panca indera, baik yang diketahui atau tidak.

Secara Istilah,Beriman kepada yang ghaib adalah percaya kepada segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan tidak bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi hanya dapat diketahui berdasarkan wahyu (khabar) yang diterima oleh para nabi dan rasul.
Dalam permasalahan ini ahlus sunnah wal jama’ah berkeyakinan bahwa beriman kepada yang ghaib adalah merupakan salah satu sifat dari orang-orang mukmin, sebagaimana firman Allah Ta’ala, artinya:


,الم ,ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين

الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون


“Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. al-Baqarah: 1-3).
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: Yang dimaksud dengan beriman kepada hal ghaib adalah segala bentuk pembenaran terhadap Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya dan bentuk pembenarannya adalah dengan amal perbuatan.
Berkata ar-Rabii’ bin Anas: Yang dimaksud adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, surga-Nya, neraka-Nya dan beriman terhadap kehidupan setelah mati.
Berkata Ibnu Mas’ud: Termasuk di dalamnya adalah beriman tentang adanya dan keberadaan Jin.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, “Apa itu qorin?” Beliau menjawab, “Jin Qorin adalah setan yang ditugasi untuk menyesatkan manusia dengan izin Allah. Dia bertugas memerintahkan kemungkaran dan mencegah yang ma’ruf. Sebagaimana yang Allah firmankan,

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ اْلإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itupun menambahkan bagi mereka dosa dan kesalahan”. (QS. Al-Jin:6)


Akan tetapi, jika Allah memberikan karunia kepada hamba-Nya berupa hati yang baik, jujur, selalu tunduk kepada Allah, lebih menginginkan akhirat dan tidak mementingkan dunia maka Allah akan menolongnya agar tidak terpengaruh gangguan jin ini, sehingga dia tidak mampu menyesatkannya. (Majmu’ Fatawa, 17:427)


Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang di antara kalian telah diutus untuknya seorang qorin (pendamping) dari golongan jin.” Para sahabat bertanya, “Termasuk Anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
وَإِيَّايَ إِلاَّ أَنَّ اللَّه أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلا يَأْمُرنِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Termasuk saya, hanya saja Allah membantuku untuk menundukkannya, sehingga dia masuk Islam. Karena itu, dia tidak memerintahkan kepadaku kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajid menjelaskan, “Berdasarkan perenungan terhadap berbagai dalil dari Alquran dan sunah dapat disimpulkan bahwa tidak ada tugas bagi jin qorin selain menyesatkan, mengganggu, dan membisikkan was-was. Godaan jin qorin ini akan semakin melemah, sebanding dengan kekuatan iman pada disi seseorang.” (Fatawa Islam, tanya jawab, no. 149459)
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 
Apabila setan menggodamu maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-A’raf: 200)
Berlindunglah kepada Allah atasnya!!
Wallahu'alam.